Breaking News

Rohidin Diminta Mundur Karena Terlalu Kuat

RealitaPost.com, Bengkulu -
Pergerakan pilihan pemilih pada sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah sangat dinamis saat ini. Hasil survei bukanlah merupakan satu acuan tunggal menentukan menang atau kalahnya seseorang sebagai Kepala Daerah dalam suatu kontestasi politik yang biasa disebut Pilkada.

Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota) di Indonesia di Indonesia merupakan kegiatan politik lima tahunan yang sangat dinamis namun penuh intrik, pembodohan, fitnah, umpat dan puji serta kadang kala menimbulkan kegaduhan dan menyisakan permusuhan antar warga masyarakat bahkan antar keluarga karena fanatisme yang berlebihan sehingga meninggalkan akal sehat.

Apa yang terjadi dalam pilkada merupakan buah dari demokrasi yang kebablasan. Seharusnya kegiatan pilkada adalah ‘sebuah pesta yang meriah’ untuk adu program, adu kecerdasan, adu integritas, adu loyalitas untuk masyarakat dan demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat tetapi saat ini yang terlihat jelas di media sosial terutama perilaku buruk yang dilakukan oleh sebuah Tim Propaganda yang biasa disebut #buzzer adalah saling menjatuhkan, saling intrik, pembodohan, saling fitnah, saling umpat, pujian yang berlebihan seakan mentuhankan manusia yang menimbulkan kegaduhan dan menyisakan permusuhan.

Dalam menunjang kegiatan pilkada, banyak berdiri lembaga survei, baik yang benar-benar profesional dan dilakukan oleh tenaga survei yang terdidik dan berpengalaman maupun lembaga survei abal-abal, yang cenderung tidak obyektif dan hanya memuaskan pemesannya untuk mendapatkan uang yang dilakukan oleh tenaga survei tanpa pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang jelas tentang bagaimana melakukan survei, mendapatkan data, mengolah data dengan metode yang jelas serta  menjadikannya sebagai suatu kesimpulan (hasil survei) yang berkualitas dan ini dapat dibuktikan setelah kegiatan pilkada berlangsung nantinya.

Walaupun begitu, hasi survei bukanlah merupakan satu acuan tunggal menang atau kalahnya seseorang sebagai kepala daerah tetapi sebagai bahan evaluasi untuk menilai kerja calon kepala daerah dan tim pemenangan untuk mencapai kemenangan. 

Pilkada masih jauh, kelemahan pencitraan dan kerja Tim dapat diperbaiki, evaluasi harus terus dilakukan sehingga kekurangan dapat ditutupi dengan kerja yang lebih hebat lagi dan kemenangan pasti akan didapatkan oleh orang-orang yang bermental juara, kalau bermental tempe cukup jualan tempe saja dan nggak perlu ikut kontestasi pilkada.

Nasib pun tidak bisa hanya ditentukan lembaga survei apalagi oleh lembaga survei abal-abal. Lakukan evaluasi secara rutin sehingga semua kekurangan bisa tertutupi dan kemenangan dapat diraih. Untuk menjadi juara harus bermental juara.

“Masyarakat hendaknya cerdas membedakan lembaga survei benaran dan lembaga abal-abal. Caranya dengan menilik rekam jejak orang-orang di lembaga survei. Jika sebuah lembaga tidak rutin mengeluarkan hasil survei, hanya melakukan survei menjelang pemilu, patut diduga lembaga itu membela yang bayar dan hanya menyesatkan hak masyarakat untuk tahu.”

Mengutip dan menanggapi berita di media online Siber-News.com (29/07/2020) berkenaan dengan hasil survei terhadap popularitas dan elektabilitas Gubernur Rohidin Mersyah, pengamat politik Bengkulu Lamhir Syam Sinaga, M.Si  menyarankan agar Gubernur Rohidin Mersyah tidak maju dalam kontestasi pilkada Gubernur Bengkulu tahun 2020.

"Melihat hasil survei tiga lembaga itu, seharusnya Rohidin menduduki peringkat pertama dalam hal popularitas dan elektabilitas, karena petahana punya semua sumber daya untuk dikerahkan meraih  popularitas dan elektabilitas tersebut," demikian disampaikan Lamhir, yang juga mantan dosen Fisipol Unib ini saat diwawancarai terkait hasil survei, Selasa (28/7/2020).

Masih menurut Lamhir, jika ada sesama figur dari daerah Selatan yang hendak maju juga dan nilai surveinya unggul atas Rohidin, Lamhir menyarankan sebagai sesama saudara untuk tidak saling mendahului. 

"Saya melihat mereka yang unggul atas Rohidin masih saudara, jadi saya menyarankan agar Rohidin tidak maju sehingga dukungan dapat menyatu, ini efektif untuk menghemat energi politik ketimbang harus bersaing dalam pertarungan politik pilkada, meminjam istilah orang Jakarta, sesama bus kota jangan saling ngebut, kasihan penumpang nanti bisa kecelakaan," ujar Lamhir lagi.

Untuk diketahui, dari rilis hasil survei Tiga Roda Konsultan pada Senin 20 Juli 2020, untuk popularitas, Rohidin Mersyah berada diperingkat 79,9 persen. Angka itu dibawah Agusrin yang menduduki peringkat pertama dengan angka 85,8 persen, dan peringkat ketiga oleh Helmi Hasan diangka 73,8 persen.

Sementara hasil survei dari Fixpoll, Rohidin Mersyah juga berada diperingkat kedua dengan angka 83,3 persen dan Agusrin diangka 89,2 persen dengan peringkat pertama. Untuk peringkat ketiga diduduki Helmi Hasan diangka 75,7 persen.

Selain itu dari hasil survei Diaspora Research Strategy, lagi-lagi Rohidin Mersyah harus puas diperingkat kedua untuk tingkat kesukaan yakni diangka 70,0 persen. Peringkat pertama diraih Agusrin M Najamudin diangka 79,6 persen dan peringkat ketiga oleh Helmi Hasan diangka 71,9 persen.

Menanggapi saran dari P Lamhir Syam Sinaga, M.Si, bersama ini saya sampaikan hal-hal sebagai berikut :

Pertama, saya cukup kenal dengan P Lamhir Syam Sinaga, M.Si ini karena beliau sempat satu kelas dengan saya saat kuliah di Program Doktor  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeritas Airlangga, tetapi beliau tidak menyelesaikan kuliah sampai tuntas. Setahu saya dalam beberapa  kali kontestasi pilkada Gubernur beberapa tahun lalu beliau adalah tim politiknya Gubernur Agusrin M. Najamuddin maupun Sultan B. Najamuddin.

Kedua, Saya termasuk orang yang percaya dengan hasil survei apabila memang dilakukan dengan prosedur dan metode yang benar. Hasil survei yang benar itu harus mencerminkan keseluruhan karakteristik populasi dari sampel yang diambil. Berapapun besarannya disitu ada koridor margin of error atau tingkat kesalahannya. Jadi hasil  kesimpulan survei dengan menggunakan metode-metode survei tersebut mencerminkan keseluruhan karakteristik populasi. Itupun baru dapat dipercaya apabila teknik pengambilan sampelnya benar, yang terdiri dari keseluruhan unsur-unsur atau unit-unit populasi, baik yang bersifat sosiologis, psikologis maupun antropologis (untuk mengukur sikap dan prilaku politik seseorang).

Dalam prinsip keilmuan, sebuah penelitian atau survei boleh salah tapi tidak boleh bohong atas data yang diperoleh, mengapa boleh salah?, karena dalam ruang penelitian diberikan ruang untuk salah, misalkan tingkat kepercayaan 95%, mengapa tidak 100% ? berarti tingkat kesalahan  5% yang memungkinkan penelitian kita salah.

Dalam survei tersebut, berapa margin of error nya ? ini harus disebutkan. Dalam sebuah penelitian survei opini publik yang perlu diperhatikan dan dievaluasi, pertama teknik pengambilan sampelnya seperti apa ?, misalkan multi stage random sampling, bagaimana mekanismenya ?, itu juga mempengaruhi kualitas responden yang diambil. Yang kedua berapa jumlah responden yang diambil, itu memang akan dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh lembaga atau individu peneliti itu sendiri. Lalu apakah sampel yang diambil mewakili unsur-unsur dalam populasi atau tidak. Kalau mewakili maka kesimpulan dari survei tersebut dapat merepresentasikan keseluruhan poulasi.

Selanjutnya tentukan margin of errornya, margin of error ini sangat ditentukan oleh jumlah respondennya. Semakin banyak jumlah responden semakin sedikit margin of errornya.

Produk ilmiah ini dalam etika akademik itu bisa dijadikan sebagai predicting atau meramalkan gejala-gejala sosial yang akan datang. Yang menjadi persoalan sekarang, lembaga survei melakukan survei pada waktu yang hampir bersamaan, kemudian metodeloginya sama, mengapa hasilnya berbeda, itu pertanyaan yang mendasar. Patut diduga, Ini jelas ada ada unsur kepentingan, dalam hal ini kepentingan politik (patut diduga ada pesanan).

Apabila ada kepentingan politik atau pesanan maka produk penelitian atau survei yang awalnya ilmiah menjadi tidak ilmiah, berubah menjadi ‘abal-abal’ untuk memuaskan  pemesannya.

 Menurut logika politiknya, sangat jarang dalam sebuah survei menjelang pilkada, petahana menjadi nomor urut 3, ini survei yang aneh dan betul-betul sansat aneh.

Padahal petahana menguasai semua lini, sumber dana dan daya yang dapat digerakkan banyak, apalagi permasalahan berat yang dihadapi Gubernur Rohidin Mersyah boleh dibilang tidak ada.

Menurut saya, dalam kajian akademis, jadikanlah survei itu sebagai sebuah pembelajaran tentang kejujuran khususnya untuk generasi muda, oleh siapapun. Karena kajian survei itu untuk strategi, kecuali survei itu hanya untuk untuk mendapatkan partai, itu lain halnya.

Terhadap lembaga surveinya sendiri, ini merupakan ketidakprofesionalan, kalau hasil survei bisa dipermainkan hanya untuk kepentingan politik tertentu.

Terhadap P Lamsir Syam Sinaga, kalau memang ada kinerja  Gubernur Rohidin Mersyah yang kurang, baik secara pribadi, maupun sebagai Gubernur beserta tim pemenangannya, saya sarankan untuk menyampaikan langsung kepada beliau sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan ke depannya, bukan dengan menyarankan beliau untuk mengundurkan diri, kecuali ada yang takut berhadapan dengan beliau di pilkada tahun 2020 ini.  Secara objektif, beliau adalah salah satu calon Gubernur terbaik Provinsi Bengkulu yang ada saat ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Siapa yang akan menjadi Gubernur kita buktikan di pilkada saja.

Semoga P Rohidin Mersyah, P Helmi Hasan, P Agusrin  M. Najamudin dan P Ahmad Hijazi tetap kuat untuk maju di pilkada Gubernur Bengkulu tahun 2020, karena kami menginginkan yang terpilih nantinya adalah orang-orang TERBAIK yang benar-benar HEBAT.

 Penulis : Dr. Ir. H. HERAWANSYAH, S.Ars., M.Sc., MT, IAI (Academic Based Influencer - Doctor of Philisophy in Social and Political Science, Expert in Social Science, Political Science and Social Media).(Red)

Tidak ada komentar